SMPS/Power Supply Nyeleneh (Jenis Buck Converter)

SMPS yang akan diulas di sini mempunyai cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’, lihat saja ouputnya, B+ output diambil langsung dari kaki transformator alias tidak lazim bagi rangkaian power supply pada umumnya. SMPS jenis ini dapat dijumpai di produk TV Panasonic Gold Series. Dengan cara kerja yang sedikit ‘nyeleneh’ tersebut menjadikan SMPS model ini menjadi ‘favorite things’ bagi beberapa bengkel teman Penulis.

Sebelum mengulas cara kerja rangkaian SMPS jenis ini, sebaiknya ditinjau dahulu dua fungsi dasar transistor yaitu sebagai penguat arus dan penguat tegangan. Pada skema-skema smps artikel sebelumnya, transistor digunakan sebagai penguat tegangan (switcher, karena dibias hingga jenuh/switch). Sedangkan pada jenis ini, transistor digunakan sebagai penguat arus.

Pada transistor NPN, transistor berfungsi sebagai penguat arus jika output dari sistem penguatan menggunakan kaki emitor dan kaki kolektor langsung dihubungkan ke tegangan positif (hingga lazim disebut VCC) sebagai masukannya. Jika transistor dalam posisi ini mendapatkan bias (tegangan basis) positif, transistor akan meng-‘emitorkan’ (mengemisikan) tegangan dari kolektor menuju emitor dengan besar tegangan sama dengan tegangan basisnya (lihat rangkaian power supply yang pakai trafo biasa dengan transistor sebagai penguatnya). Karena tegangan yang diemisikan bersumber dari kolektor (yang notabene mempunyai arus lebih besar dari tegangan basis), maka tegangan output pada kaki emitor juga mempunyai arus yang lebih besar pula.

Kembali ke skema di atas, prinsip dasar kerja rangkaiannya adalah penggunaan transistor yang difungsikan sebagai penguat arus, kemudian tegangan keluaran transistor tersebut (yang arusnya telah dikuatkan) nantinya digunakan untuk ‘menggerakkan’ transformator sekaligus sebagai tegangan output dari SMPS. Karena yang ‘diubek’ adalah arusnya, bisa dikatakan smps jenis ini mempunyai output tegangan DC yang terputus-putus, sedangkan cara kerjanya sebagai berikut (singkat saja):

  1. Seperti pada umumnya rangkaian SMPS, tegangan DC 308V dihasilkan dari penyearahan tegangan masukan AC melalui line filter kemudian masuk ke main rectifier dan elko perata (C1 150uF/400V).
  2. Dengan adanya tegangan B+308V, resistor-resistor start-up R1 dan R2 (470K) memberikan tegangan/bias basis pada transistor utama Q1 (2SC4804/2SC5249), karena transistor mendapatkan tegangan basis, maka transistor akan mengeluarkan tegangan pada emitornya yang langsung ‘keluar’ ke output melalui lilitan primer transformator dengan tegangan yang menanjak (semakin membesar).
  3. Dalam waktu beberapa mikrodetik (uS), tegangan yang menanjak tersebut mencapai ambang SCR dan segera memicu SCR D8 (FD312) untuk menghubung singkatkan tegangan tersebut secara cepat (ingat, kaki SCR sebelumnya belum ada tegangan = terdapat beda potensial yang cukup untuk memicu).
  4. Karena tegangan output ‘dikonsletkan’ sesaat oleh D8 (SCR FD312), maka secara otomatis terbentuk magnet pada inti transformator (T1, C1C6A) yang segera terdemagnetisasi karena transistor kehilangan bias (bias dihilangkan oleh transistor Q3 (2SC3940A), proses tersebut berulang-ulang hingga akhirnya smps berosilasi dan mengeluarkan tegangan pada masing-masing lilitan sekunder trafo. R11 (100/2W) dan C11 (100n/100V) berfungsi sebagai penentu frekuensi kerja smps dan menjaga smps tetap berosilasi.
  5. Untuk menghindari ‘penanjakan’ yang berlebih, D5 (AU01Z), C5 (470p/500V), R12 (22), ZD1 (MA4062-6V2), C10 (47uF/50V), Q2 (2SA1512) dan R3 (220) membentuk rangkaian limiter/pembatas yang mempertahankan tegangan output pada nilai yang ditentukan. Dalam standby maupun kondisi ON, rangkaian ini tetap difungsikan. Karena rangkaian limiter sudah bekerja, maka tegangan output menjadi tidak cukup untuk memicu D8 FD312 (ingat, trafo hanya bisa dimagnet jika diberi tegangan, bukan dilewati tegangan).
  6. Untuk menjaga siklus osilasi tetap berjalan yang notabene harus dengan beban, R16 (470/2W) merupakan komponen yang bertanggung jawab untuk memberi beban smps ini ketika standby. Ketika ON, beban dipindah ke transistor horisontal dan flyback oleh relay.
  7. Ketika mode ON, beban dipindah ke beban sesungguhnya oleh relay dengan melewati dioda penyearah, dioda tersebut menyearahkan selisih tegangan yang ada di sistem sasis input/outputnya. Karena setiap dalam satu siklus osilasi, smps dikonsletkan oleh beban sehingga muncul tegangan selisih pada groundnya. Selain itu, dioda ini juga sebagai isolator agar rangkaian smps (primer) selalu dalam potensial positif (ingat, yang diubek-ubek tegangan DC lho…!!!).
  8. Rangkaian error amp, terdiri dari IC1, SE090-NLF4, Q3 (2SC3940A), optocoupler (PS2051-1) dan komponen pasif pendukung lainnya (jelasnya baca skema). Rangkaian error amp ini menjaga tegangan output tetap stabil pada 90V. Tegangan error yang keluar dari SE090 memberikan bias pada optocoupler OP1 (PS2501-1) sehingga opto mengalirkan tegangan dari kolektor ke emitor yang akhirnya menuju ke basis Q3 (2SC3940A), sehingga Q3 dapat mengontrol/menahan tegangan basis pada Q1 (2SC4804), semakin tinggi tegangan yang masuk ke basis Q3, semakin rendah outputnya. Sedangkan tegangan kolektor optocopler diambil dari tegangan dari B1-2 (lilitan sekunder) dan tegangan yang melalui D4.
  9. Yang menarik adalah mengapa harus butuh boost-up??? Ketika tegangan boost-up tidak ada (TFB tidak bekerja misalnya) dan smps diberi beban mengakibatkan tegangan output turun dan rangkaian error amp tidak lagi mampu mempertahankan tegangan outputnya. Karena smps masih mendapatkan tegangan start-up (oleh resistor-resistor start up) secara otomatis osilasi tetap berlanjut (dengan super beban tentunya), alhasil, ada suara kriiiiiiik pada trafonya. Jika diperbesar, prosesnya adalah, start – out ada – out drop (karena beban) – start lagi – out ada – out drop …… dan seterusnya. Begitu juga tegangan dari sekunder B1-2, juga mengalami hal yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuatlah lilitan L1 (sekitar 3 s/d 4 lilit) yang digulungkan di trafo flyback dengan maksud untuk mem-boost rangkaian smps segera setelah TFB bekerja. Karena adanya tegangan boost (yang dari TFB), tegangan dari resistor-resistor startup secara otomatis tergantikan dari tegangan boost tersebut.

Komponen Vital

Dalam sistem smps, semua komponen adalah vital. Tetapi persyaratan utama smps adalah stabilnya tegangan output juga cukupnya arus. Jika mengamati skema, sistem kerja di atas dan persyaratan tersebut, dapat ditemui beberapa komponen yang kritis/vital yaitu :

  1. C10 (47/50V), elko ini berfungsi sebagai perata/penampung tegangan bias Q2 (2SA1512) yang menurut skema transistor tersebut digunakan untuk membatasi tegangan outputnya (bersama-sama dengan ZD1 MA4062-6V2), jika ada gangguan pada elko ini, pembatasan tegangan output akan ‘bergeser’. Tegangan pada elko ini sebelumnya melalui R12 (22) sehingga R tersebut juga sangat penting. Jika elko kering, tegangan output akan naik.
  2. Q1 (2SC4804), transistor final ini harus dipilih dari transistor yang mempunyai karakteristik yang cocok untuk penggunaan penguatan arus. Tidak semua transistor smps cocok untuk tugas ini (pemilihan tipe alternatif harus teliti).
  3. Optocoupler (OP1 PS2501-1), sebelumnya mungkin sudah bertanya-tanya, optocouplernya kok tidak umum seperti pada TV-TV lainnya, PS2501-1, jika dilihat dari skemanya optocoupler ini memberi tegangan bias kepada Q3 (2SC3940A) dengan besar tegangan sesuai dengan inputnya (output dari SE090N). Ketika standby, tegangan bias ini harus tidak ada. Jadi, optocoupler yang ‘bocor’ sedikit saja, dapat mengganggu kerja dari SMPS ini.

Tips Perbaikan dan Troubleshooting

  1. Mencoba/mengetes smps sebaiknya menggunakan cara mengetes smps seperti yang diulas dalam artikel Cara Aman Mengetes Power Supply (SMPS).
  2. Lepaskan trafo, kemudian tes semua komponen-komponen yang terdapat pada bagian primer termasuk dioda-dioda penyearah pada sekunder trafo. Cek juga apakah ada beban yang konslet. Jika ditemukan beban yang konslet, perbaiki dulu yang konslet tersebut baru lanjutkan kembali ke bagian smps.
  3. Ganti komponen-komponen yang rusak dengan nilai yang sama, untuk transistor, dapat menggunakan tipe lain dengan catatan sama karakteristiknya. Untuk penggantian elko (2 biji), sangat dianjurkan walaupun berkesan masih baik.
  4. Jika dirasa beres semua, kembalikan trafo, lepas beban B+ yang menuju ke TFB, kemudian ‘paksa’ standby smps dengan melepas salah satu kaki koil relay. Kemudian hidupkan power supply.
  5. Jika tidak ada masalah, akan terbaca tegangan 20V dan 40V pada sekunder dan sekitar 20V pada B+90V.
  6. Jika smps masih mengerik, mungkin ada beban yang konslet, cek IC AN78M05.
  7. Jika smps berbunyi ciit panjang diiringi dengan output rendah (kurang dari normalnya, cek optocoupler.
  8. Kembalikan paksaan standby, kemudian hidupkan power supply, secara normal, tegangan output akan sedikit menurun, 20V terbaca sekitar 15 s/d 18V, 40V terbaca sekitar 35V. tegangan ini dapat dipengaruhi oleh gambar/beban TFB karena pengaruh boost-up.

Alternatif Komponen Pengganti

  1. Optocoupler : PC817 (sharp) bisa dipakai, jangan menggunakan optocoupler yang jika dites antara kaki kolektor dengan kaki emitornya dengan skala 1/10K, ada resistansi (jarum bergerak), misalnya P721 atau P621.
  2. Elko 47/50V, gunakan yang mempunyai suhu kerja tinggi (lihat pada kemasan) dan kualitas yang baik, jika tidak ditemukan, bungkus elko dengan shrink isolator atau tinggikan kaki-kakinya (penempatannya).
  3. Transistor utama, dapat menggunakan 2SC5249 atau tipe laen yang fungsi dan karakteristik sama.

Tegangan 35/40V

Pada sasis gold series, tegangan sekunder 40V ini hanya dipakai untuk tegangan VT tuner, zener pada jalur tegangan ini sering short (karena naiknya tegangan yang disebabkan keringnya elko 47/50V), sedangkan untuk mencari penggantinya, di beberapa daerah mungkin tidak ditemukan. Sebagai alternatif lain, zener tidak perlu dipasang (dilepas), tetapi perlu ditambahkan zener 33V pada jalur 33V setelah R820/2W.

oleh Zaenal Electronic di Klinik TV Jepara, kembali ke DAFTAR ISI